Burung Garuda Lambang Kerajaan Sintang dan Elang Rajawali Garuda Pancasila Lambang Negara Setelah Raden Syamsuddin diberhentikan oleh
pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan, maka di Sintang hanya
ada pemerintahan tunggal yaitu NICA dengan Beuwkes sebagai assisten
residet. Susunan tata pemerintahan kerajaan disempurnakan berdasarkan
pengakuan terhadap 12 daerah pemerintahan swapraja dan 3 daerah Neo
Swapraja yang diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1926
dengan staatsblad 1948 (hasan, Syamsuddin, 1973). Dengan perkembangan
inilah dalam tahun 1947 diangkat Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua
Majelis Kerajaan Sintang. Ke 12 daerah Swapraja serta 3 daerah Neo
Swapraja ini membentuk suatu gabungan yang merupakan sebuah Federasi.
Federasi ini oleh pemerintah NICA diakui sebagai daerah Istimewa dengan
pemerintahan sendiri melalui sebuah Dewan yang disebut Dewan Kalimantan
Barat (DKB), dan daerahnya disebut Daerah Istimewa Kalimantan Barat
(DIKB). Pengakuan ini dikeluarkan oleh Letnan Gubernur Jendral, tanggal 2
Maret 1948 (Staatsblad 1948 No. 58), (sumber buku “Wajah Kalimantan
Barat” Hal. 14).
Usia DIKB tidak lama, karena dengan surat keputusan No. 234/R dan
235/R tanggal 7 Mei 1950 menyerahkan wewenang pemerintahannya kepada
Resident Kalimantan Barat di Pontianak sebagai wakil pemerintah Pusat
RIS di saat itu. Kemudian Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan surat
keputusan No. B.Z. 17/2/47 tertanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan bahwa
Pemerintahan di Kalimantan Barat dijalankan oleh Residen Kalimantan
Barat berlandaskan pasal 54 Konstitusi RIS.
Saat Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan
Sintang, beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan
Barat. Dari jabatan itu hubungan persahabatan keduanya semakin dekat,
apalagi saat itu Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto
Folio berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS)
No. 2 tahun 1949 dipercaya untuk mengkoordinir kegiatan perancangan
lambang Negara. Sehubungan dengan penugasan itu beliau mulai melakukan
pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi komperatif atas
lambing Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk
membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara
kepada Ade Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota
parlemen RIS). Ade Mohammad Djohan menyatakan bahwa lambang kerajaan
Sintang adalah Burung Garuda. Mendengar ucapan Ade Mohammad Djohan,
Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di
Pontianak terjadi diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhir
dari semua itu Sultan Hamid II memberitahukan kepada Ade Mohammad Djohan
bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS
berbentuk Burung Garuda.
Berhubung dengan itu Sultan Hamid II pada bulan Januari 1950
berkunjung ke Kapuas Hulu dan dengan sengaja singgah di kesultanan
Sintang untuk membuktikan sebuah fakta yang yang pernah dibicarakan
dengan Ade Mohammad Djohan tentang lambang kerajaan Sintang. Pada saat
Sultan Hamid melihat fakta yang ada, beliau kagum dan sangat tertarik.
Oleh karena itu Sultan Hamid II segera meminjamkan burung Garuda sebagai
lambang kerajaan Sintang untuk dibawa ke Pontianak. Burung Garuda yang
dipinjam oleh Sultan Hamid sat itu adalah berukuran kecil yang menghiasi
puncak penyangga tiang Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari
Majapahit.
Saat itu pihak swapraja Sintang tak keberatan, namun dengan beberapa
syarat, salah satunya Sultan Hamid harus menandatangani semacam berita
acara peminjaman, dan waktu peminjaman sendiri tak boleh lebih dari 1
bulan. Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa Sultan Hamid
II tersebut kini di Simpan di Istana Kesultanan Sintang, yang telah
ratusan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.
Menurut A.M Sulaiman (83) salah seorang pegawai swapraja Sintang yang
turut menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan
Hamid II pada masa itu, juga membenarkan adanya peminjaman tersebut.
Sebagai saksi hidup peminjaman, beliau juga menyatakan, tak bermaksud
menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang mengusulkan Burung
Garuda Sebagai lambang negara, namun mereka hanya berharap ada pelurusan
kronologi sejarah. Faktanya adalah Sultan Hamid II memang meminjam
lambang kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda. Faktanya lambang
tersebut menjadi acuan Sultan Hamid mengusulkan Burung Garuda Sebagai
Lambang Negara.” Ditambahkan lagi olehnya saat dialog antara keduanya,
Ade Mohammad Djohan mengusulkan kepada Sultan Hamid II untuk mengusulkan
Burung Murai sebagai lambang Negara, karena burung murai adalah burung
pembersih atau rajin artinya tidak mau bermain-main ditempat yang kotor,
oleh sebab itu apabila kita lihat sarang burung murai selalu dalam
keadaan bersih.
Diskursus mengenai kronologi terciptanya lambang negara Indonesia
kembali dibuka, pasalnya meski sejarah negara ini menyatakan bahwa ide
penggunaan Burung Garuda sebagai lambang negara ini diperkenalkan oleh
Sultan Hamid II dari Pontianak, namun ternyata lambang yang dibawa oleh
Sultan Hamid tersebut dipinjam dari lambang kerajaan Sintang. Apabila
Sultan Hamid II tidak meminjam burung Garuda yang menjadi lambang
kerajaan Sintang saat itu, besar kemungkinan rancangan lambang Negara
yang diusulkan oleh Sultan Hamid II bisa jadi dengan bentuk dan nama
lain seperti yang diusulkan oleh anggota panitia lainnya.
Kalau kita amati secara mendalam, lambang Negara Republik Indonesia
“Lahir Dari Sintang” sudah tepat, karena bahan yang dipinjam oleh Sultan
Hamid II berbentuk fisik dan bukan sketsa gambar garuda di berbagai
candi di pulau Jawa seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada
Sultan Hamid II, apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan:
"Ukiran burung Garuda. Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang
bangsa Indonesia", Lambang kerajaan Sintang dengan nama Burung Garuda,
sedangkan Lambang Negara oleh Sultan Hamid II menamakan Elang Rajawali
Garuda Pancasila. Dan baru diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 pada
tahun 2000 barulah dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan
Lambang Negara Indonesia.
Oleh sebab itu lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang
kerajaan Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda
itu sendiri masih utuh dan terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka
memperingati “60 tahun Garuda Pancasila” oleh Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika Bandung
meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60
tahun Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan
ribu pengunjung, maka pihak kementerian luar negeri melalui museum
konperensi Asia Afrika memperpanjang peminjaman untuk tingkat Asia di
Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6 (enam) bulan
lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan
Sintang mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari
berbagai lapisan masyarakat.
smbr:wikipedia
0 komentar:
Post a Comment